Sunday, May 27, 2007

Sejarah Ringkas Setelah Wafat Rasulullah SAAW - Bagian 1

Salam Alaikum,

Rekan-rekan sekalian,

Terilhami oleh rekan Gary yang dengan rendah hati merasa belum banyak tahu sejarah setelah wafatnya Baginda Nabi, berikut ini saya kirimkan kembali ringkasan sejarah yang saya kirimkan kepadanya -- sejauh ini -- dalam 3 bagian. Kepada anda, tiga bagian itu saya gabungkan menjadi satu. Besok, saya akan tuntaskan bagian terakhir hingga wafatnya Husain. Mudah-mudahan anda tidak bosan, segan dan punya semangat yang sama seperti Bang Gary untuk mengetahui perjalanan sejarah agama kita.

Wassalam,
Abdi

Sejarah Ringkas Setelah Wafat Rasulullah SAAW


Sekadar untuk referensi sementara, silakan merujuk ke:
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Succession_to_Muhammad
dan
http://en.wikipedia.org/wiki/Succession_to_Muhammad#An_overview_of_events
dan coba lakukan self-research.


Tak lama setelah Rasul SAAW wafat, pada saat keluarga dekatnya yang dipimpin oleh Sayidina Ali tengah melakukan persiapan sebelum pemakaman, para sahabat Anshar ('Aus dan Khazraj) sedang melakukan pertemuan di satu tempat bernama Saqifah Bani Sa'idah (disingkat Saqifah saja). Umar, Abu Bakar dan beberapa orang sahabat lain, segera datang bergabung. Singkatnya dalam pertemuan itu Abu Bakar terpilih sebagai pemimpin setelah terjadi perdebatan seru.

Setelah Nabi dimakamkan, Ali kw protes kepada Abu Bakar namun Abu Bakar memberikan alasan-alasan mengapa ia tidak dipilih. Semua alasan itu dipatahkan oleh Ali. Protes Ali berlangsung terus antara lain dalam bentuk penolakan baiat (pay allegiance) setidaknya hingga 6 bulan, yakni hingga wafatnya Fatimah binti Rasul. Namun Ali dihadapkan pada dua masalah: terus menuntut haknya sebagai Khalifah dengan resiko tanpa pendukung dan kemungkinan perang saudara (civil war = fitnah) atau berhenti menuntut demi persatuan umat. Ini bisa jadi dilihat bukan sebagai fakta tapi opini. Namun, sejarah membuktikan Ali tidak memberontak dan memilih menghindar dari
politik kecuali saat diminta pendapatnya oleh Khalifah atau saat melihat kemungkinan terjadinya penyimpangan hukum. Di luar itu dia menyibukkan dirinya melakukan kompilasi al-Quran.

Abu Bakar wafat. Sebelum meninggal dia membuat surat wasiat bahwa Umar adalah Khalifah berikutnya. Kembali Ali protes tapi ujung-ujungnya sama: dihadapkan pada dua pilihan.

Umar terbunuh. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, dia menunjuk 6 orang "Ahlul Halli wal Aqdi", badan konsultasi yang akan menunjuk Khalifah pengganti diantara mereka. Termasuk kedalamnya: Ali, Utsman, Talhah, Zubair, Abdurrahman bin 'Auf dan satu lagi yang saya lupa. Pendeknya terpilih 2 nama: Ali dan Utsman. Umar berpesan kalau 2 orang sudah terpilih (shortlisted) keputusan pemilihan diserahakan kepada Ibn 'Auf berdasarkan pertanyaan antara lain: apakah calon Khalifah akan menjalankan
pemerintahannya berdasarkan al-Quran, Sunnah Rasul dan mengikuti serta meneruskan tradisi kedua Khalifah sebelumnya. Ali hanya menjawab ya untuk dua hal yang pertama sementara Utsman menjawab ya untuk semuanya. Untuk itulah selanjutnya Utsman dipilih sebagai Khalifah ketiga.

Sejarah sepakat menyebutkan bahwa pemerintahan Utsman ditandai dengan banyaknya keterlibatan keluarganya dalam posis pemerintahan dan pengelolaan baitul mal. Begitu rupa hingga penduduk Madinah tidak bisa lebih lam lagi menerma itu dan mereka memberontak. Setelah segala usaha gagal untuk membendung amuk masaa Utsman akhirnya terkepung di istananya, tanpa akses terhadap makanan dan minuman. Sayidina Ali mengirim kedua putranya: Hasan dan Husain yang karenanya dapat menerobos blokade dan setidaknya memberi Utsman akses terhadap makanan dan minuman. Tapi hal ini tidak berlangsung lama, para pemberontak akhirnya berhasil masuk dan membunuh Utsman.

Setelah Utsman terbunuh, orang-orang datang kepada Ali dan memintanya menjadi Khalifah. Meski mengetahui bahwa Kekhalifahan memang haknya dia mempertanyakan bagaimana mungkin saat dia membutuhkan dukungan mereka (setelah wafatnya Nabi) tak seorang pun mendukungnya, kini ketika tak seorang pun berani mengajukan diri mereka mendesak Ali untuk maju. Akhirnya Ali menyanggupi dengan syarat semua dapat menerima kebijakannya, antara lain mengganti para pejabat atau gubernur yang korup dan menerapkan keadilan tanpa pandang bulu.

Sayidina Ali mulai mencopot satu-satu pemimpin tiap propinsi yang tidak cakap dan amanah, mulai dari gubernur Medinah, Mesir, Basrah, Mekah hingga Damaskus (Suriah). Sayang Muawiyah, gubernur Suriah, sudah terlalu kuat dan sudah telanjur memperlakukan dirinya sebagai raja dengan pemerintahan dan pasukan yang kuat. Singkat cerita Muawiyah menolak baiat dan menyiapkan pasukannya melawan Ali.

Sementara itu, Talhah dan Zubair, yang kecewa karena Ali tidak mengangkat mereka sebagai gubernur baru, membujuk 'Aisyah, istri baginda Nabi, untuk melawan Ali dengan dalih Alilah yang bertanggung jawab atas kematian Utsman. Sebuah klaim yang terlalu tampak dibuat-buat mengingat usaha Ali yang begitu keras dalam melindungi dan mencegah Utsman dari serangan para pemberontak. Antara lain dengan mengirimkan Hasan dan Husain untuk menjaganya. Namun sayang sekali Talhah dan Zubair berhasil mempengaruhi Ummul Mukminin ra. Singkatnya kedua pasukan mulai berhadap-hadapan di Basrah. Aisyah berada di punggung unta dan karena itulah perang ini disebut Perang Jamal (unta). Sebelum terjadi fitnah (perang saudara), Ali berusaha membujuk pihak lawan untuk menghindari pertumpahan darah. Sayang usahanya tidak berhasil. Perang
tak terhindar. Talhah dan Zubair terbunuh, pasukan mereka kalah dan Siti Aisyah dipulangkan dengan hormat oleh Ali ke Madinah.

Berikutnya Muawiyah menyiapkan pasukannya untuk melawan Ali dan pasukannya di Siffin dan karenanya disebut Perang Siffin. Ketika hampir kalah, Amr bin 'Asy, penasihatnya yang pernah mengejar Ja'far bin Abi Thalib dan muhajir Muslim pertama ke Ethiopia, melakukan taktik perdamaian (truce). Dia mengusulkan supaya Quran ditancapkan di lembing pasukannya. Melihat itu pasukan Ali ragu-ragu untuk menuntaskan pertempuran. Ali menegaskan bahwa itu hanya tipu muslihat Muawiyah dan memerintahkan mereka untuk terus maju, namun sebagian pasukannya menolak dan secara sepihak menerima truce.
Kelompok pembangkang ini di kemudian hari dikenal sebagai Khawarij (Kharijites). Ali terpaksa menerimanya pula, namun segera dia menunjuk (Abdullah) Ibnu Abbas atau Malik bin Asytar sebagai arbitrator dari pihaknya tapi ditolak oleh para Khawarij ini. Mereka selanjutnya menunjuk sendiri pilihannya: Abu Musa al-'Asy'ari. Tokoh malang yang diturunkan Ali dari jabatan gubernur Basrah karena tidak cakap ini berhadapan dengan politikus ulung Machiavelis Amr bin 'Asy. Hasilnya bisa diperkirakan. Amr mengatakan bahwa demi perdamaian kedua pemimpin, Ali dan Muawiyah harus diturunkan. Amr mempersilakan Abu Musa mengambil kesempatan pertama mengumumkan pencopotan. Setelah itu, alih-alih menurunkan Muawiyah, Amr mengumumkan Muawiyah sebagai satu-satunya Khalifah karena Ali telah diturunkan Abu Musa.

Tidak puas dengan hasil arbitrasi ini, kelompok yang belakangan disebut Khawarij ini, secara terang-terangan memisahkan diri. Sejak saat itulah mereka disebut Khawarij (orang-orang yang keluar, memisahkan diri).

Orang-orang Khawarij ini selanjutnya mengatur rencana. Menurut mereka kekacauan terjadi karena ulah 3 orang: Ali, Muawiyah dan Amr bin Asy. Karena itu ketiganya mesti dibunuh. Tiga orang diutus ke tiga tempat untuk membunuh mereka. Muawiyah dan Amr lolos dari eksekusi namun menyedihkan Ibnu Muljam berhasil membunuh Sayidina Ali. Ketika masuk masjid Kufah untuk mengimami salat Subuh, ia menemukan Ibnu Muljam tidur telungkup dan Imam membangunkannya, mengingatkannya bahwa tidurnya tidak tepat dan mengatakan bahwa ia "mengendus" niat buruk pada dirinya. Saat Imam Ali sedang ruku, Ibnu Muljam yang salat di belakang Imam menebaskan pedang beracunnya pada
kepala Ali. Sayidina Ali berseru, "Fuztu bi rabbil Ka'bah" (Demi Tuhan Ka'bah, aku telah berhasil). Kata-kata ini ia ucapkan karena permohonannya kepada Allah agar ia tidak mati di tempat tidur tapi wafat sebagai syahid. Dan Allah mengabulkannya. Kejadian ini berlangsung pada malam 19 Ramadan. Dua hari kemudian beliau wafat. Sebelum wafat, ia berwasiat, antara lain agar Ibnu Muljam hanya dihukum sesuai dengan hukum Islam, tidak kurang tidak lebih. Tubuhnya tidak boleh dirusak atau dicabik-cabik atau diperlakukan tidak hormat.

Kini kekhilafahan (imamah) berada di tangan Hasan ra. Namun Hasan menghadapi lebih banyak lagi kendala. Dia mewarisi pengikut dan pasukan Ali yang terdiri dari tiga kelompok:

- kelompok pengikut sejati yang disebut Syiah Ali
- kelompok Khawarij
- kelompok yang tidak menyukai Muawiyah tapi tidak berarti pengikut setia Ali/Hasan.

Muawiyah sudah terbiasa melakukan apa saja agar tujuannya tercapai (machiavelis). Kuncinya hanya uang atau pedang. Sekiranya orang tidak dapat dibeli dengan uang, maka pedanglah satu-satunya jalan. Muawiyah mengirimkan banyak intruders dan mata-mata ke Kufah. Mereka bertugas memata-matai dan mencatat segala aktifitas Hasan dan para pengikutnya di Kufah dan melaporkannya kepada Muawiyah di Syam. Tahap berikutnya mereka ditugasi menyuap orang-orang yang dapat dibeli terutama mereka yang berada dalam lapisan bawah pasukannya. Taktik ini berjalan mulus begitu rupa sehingga dari 12,000 pasukannya yang siap berhadapan dengan Muawiyah di Sabat, 8000
orang melakukan disersi dan berbalik memihak Muawiyah. Pukulan terbesar buat Hasan adalah ketika Ubaydullah bin Ziyad, komandannya dan Imam Ali di Iran (Rayy?) menyeberang ke pihak Muawiyah. Muawiyah berhasil meyakinkannya dengan dalih mereka memiliki ayah yang sama: Abu Sufyan.

Dengan hati berat dan, seperti apa yang dialami ayahnya, demi persatuan umat Hasan menerima usulan perjanjian yang ditawarkan Muawiyah dengan catatan:

- Muawiyah harus mengikuti Quran dan Sunnah
- Kekhalifahan diserahkan kepada Hasan sepeninggal Muawiyah dan tidak mewariskannya kepada anaknya
- Muawiyah harus melindungi pengikut Hasan dan keluarganya
- dst

Perjanjian ini disetujui Muawiyah untuk selanjutnya di belakang hari dilanggarnya secara sepihak. Hasan selanjutnya kembali ke Madinah. Namun Muawiyah, tidak hanya melanggar perjanjian, dia pun mengupah salah seorang istri Hasan, Ju'dah bin Asy-asy (belakangan diketahui sebagai adik salah seorang Khariji), untuk membunuh Hasan. Dia dijanjikan hadiah uang dalam jumlah banyak dan pernikahan dengan Yazid. Hasan wafat setelah makanannya diracuni. Ju'dah memperoleh uangnya namun ketika dia menuntut dinikahkan dengan Yazid, Muawiyah berkilah kalau cucu Nabi dan putra Ali saja dia bunuh apa jaminannya hal yang sama tidak akan ia lakukan terhadap seorang yang
hanya anak Muawiyah.

Hasan wafat dan ketika pemakaman disiapkan baginya di sisi makam Nabi, Muawiyah dan para musuhnya menolak. Akhirnya beliau dimakamkan di Jannatul Baqi.

No comments: