Tuesday, May 02, 2006

Childhood Islamic Education (part 1)

Dra, ayo kita coba berbagi pengalaman tentang merawat dan
membesarkan anak. Saya nggak tahu harus mulai dari mana. OK kita
mulai dari mana saja ya, sakainget kuring. Buat yang lain, saya
mohon punten kalau ini terlalu panjang dan boring. Just ignore it.

Yang saya ingat saya sudah menyiapkan nama-nama buat mereka sebelum
mereka lahir, saat mereka masih dalam kandungan. Nama penting dalam
Islam karena kata Baginda Nabi "beri anak-anakmu nama-nama yang baik
karena dengan itulah manusia akan dipanggil di Hari Akhir."
Karenanya orang sering menyalahkan Shakespeare dengan pernyataannya
dalam Romeo and Juliet, "What's in a name? That which we call a rose
by any other word would smell as sweet". Tetapi sebetulnya
membandingkan dengan apa yang dikatakannya itu out of context.
Pernyataan Bang Shakes ini bagus untuk mereka yang terlalu
particular sama barang atau merek tertentu padahal esensinya sama.
Tapi ini jangan dijadikan senjata buat menolak permintaan istri akan
parfum Gucci, Chanel, Givenchy, etc dan berdalih "What's in a name?"
lalu dibelikanlah parfum merek "Si Nyong-Nyong" atau cap "Putri
Duyung". Only when you are broke you can do so :-).

Saya juga mengikuti saran para psikolog dan tradisi Islam bahwa
mereka mulai diperdengarkan dengan suara-suara yang baik saat mereka
berada dalam kandungan. Dan ini hanya pilihan saya, anda tidak harus
mengikuti, yakni disamping saya lantunkan ayat-ayat suci Quaran, doa-
doa yang baik terutama dari Baginda Nabi dan para Ulil Amri saaw
(khususnya doa Sahifah Sajadiah yang jadi kojo/favorit istri saya),
juga kami perdengarkan musik-musik klasik dan musik-musik yang
soothing dan relaxing. Si jabang bayi dalam perut pun kami ajak
berdialog seakan-akan dia sudah bisa nembalan (me-respond). Dengan
begini kita sudah membangun hubungan spiritual dan emosional yang
baik sejak dini.

Tujuh tahun pertama saat yang penting. Dua tahun pertama lebih
penting lagi terutama dalam perkembangan kecerdasan/otak. Quran
menggariskan agar menyapih anak setelah 2 tahun. Selama 2 tahun itu
pula anak kami disusui hanya dengan ASI. Susu ibu bagus untuk anak
ibu, susu sapi bagus untuk anak sapi. Apapun yang terjadi mereka
harus mengkonsumsi penuh ASI. Kalau tidak penting tentunya Quran
tidak akan sespesifik seperti itu. Saya ingat satu peristiwa entah
kenapa supplai ASI istri menurun. Ortu kami bilang daun Katuk
(forget its latin name, nama ini pun saya nggak yakin bener) is
bedes eh the best untuk meningkatkan suplai ASI. Maka dengan
mengendarai motor Pak Pos Suzuki A-100 saya jelajahi setiap pasar di
pagi buta, mulai Pasar Kircon, Kosambi, Baru, Ciroyom sampai Pasar
Cibadak. Ini karena daun itu termasuk langka dan kalaupun ada akan
cepat habis diborong orang. Sejak itu, kami tanam daun Katuk di
halaman rumah to make sure we were not out of supply.

Ternyata khasiat 2 tahun ASI itu bukan isapan jempol (how can I say
so when I know it is from the Quran!!) kalau melihat perkembangan,
kemajuan dan prestasi mereka sekarang. Kadang I am myself amazed.
Kalau mau ngambil kredit saya bilang, tuh `kan kalian dapet good
genes dari aku. No way, kata mereka, kami jadi seperti ini karena
Bunda menyusui penuh dan memberi kami makan banyak hati !!. Bener
juga sih, soalnya achievements mereka excellent, so much so that
they even completely beat me. Well, akhirnya saya teringat si daun
Katuk itu dan lebih-lebih the magnificent ASI!!

Hal lain yang kami jalankan dan ajarkan kepada anak sejak usia dini
ini antara lain independensi. Setelah mereka disapih, mereka kami
tempatkan dikamar mereka sendiri. Nisa dan Ali terpaut 2.5 tahun.
Ketika adiknya lahir, Nisa sudah tidur sendiri di kamarnya. Saat dia
usia 5, adiknya yang baru 2 tahun menemaninya di kamar yang sama.
Namun kami tidak lupa bahwa mereka hanya boleh bersama hingga Nisa
berusia 7 atau paling tidak hingga Ali berusia 7 juga. Buat mereka
yang punya 2 anak berkelamin sama, aturan ini tentunya tidak terlalu
berlaku. Melatih independensi ini kami anggap penting mengingat ini
nilai yang masih rada langka dalam masyarakat kita, terutama di usia
dini. Saya masih menemukan ortu yang selain membiarkan anaknya
menyusu atau bahkan mengempeng hinga usia telat (4-5 tahun) juga
mengijinkan mereka tidur bersama ortunya. Quran menyebutkan ada
waktu-waktu privasi bagi ortu dimana anak-anak harus mengetuk pintu
untuk masuk pada waktu-waktu tersebut. Membiarkan anak-anak tinggal
sekamar hingga usia di atas apalagi hingga 7-8 tahun selain tidak
mengikuti anjuran Quran juga tidak mendukung usaha mengajarkan
independensi pada anak.

Sekolah! Sekarang kita masuk bagian yang kritis. Seperti berkali-
kali saya katakan, saya tidak percaya dengan "Kawah Candradimuka".
Baik, disamping itu sebuah legenda dan hanya cocok untuk Gatotkaca,
realita selalu JAUH lebih kompleks daripada legenda. Karena itu,
meski kita terus berusaha mencarikan sekolah yang terbaik kita tetap
harus ingat tentang pentingnya keterlibatan kita, ortu, dalam
pendidikan mereka. Seperti kebanyakan orang, saya pun kurang sreg
dengan sekolah negeri. Terbalik dengan di Kanada sini. Entah kenapa
waktu itu Istiqamah lah pilihan saya. Menyesal, Muthahhari pada
waktu itu hanya punya SMA, no SD, no SMP. Beberapa kawan tergoda
untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah Katolik dengan dalih
mereka lebih bagus. Terlepas dari pro dan kontra, saya mencoba
berpikir lebih "suprastruktural". Saya katakan kepada istri dan
kawan-kawan selama metoda pendidikan di negeri ini masih amatiran
seperti ini, tidak ada perbedaan yang signifikan antara
menyekolahkan anak di sekolah Katolik atau swasta "unggulan" lain
dengan sekolah Islam, Istiqamah atau sekolah negeri. Metoda
pendidkan di negeri ini harus dirombak secara radikal dan dibuat
lebih tepat sasaran. Selama itu tidak dilakukan, memilih sekolah di
Indo sama saja antara membeli parfum Si-Nyong-Nyong atau Putri
Duyung. Saya bilang, peperiheun kualitas nya sama saja, setidaknya
kita pilih yang ada kurikulum Islamnya. Mengapa? Ini pertanyaan Ali,
anak saya, saat ini sehubungan dengan keputusan saya memasukkan
mereka ke Sunday School (Madrasah Minggu) di Kanada.

Seperti halnya kita tidak merasa cukup dengan hanya mengandalkan
sekolah dalam mengantarkan anak ke masa depannya, begitu pula
sebaliknya. Kita tidak boleh merasa cukup dengan mendidik anak
sendiri di rumah. OK kita punya contoh bagus tentang otodidak dari
Buya Hamka, Einstein yang dikeluarkan dari SD dan malah dapat PhD
dari Universitas Zurich, Newton yang waktu teenager dikeluarkan
ibunya dari sekolah supaya jadi petani dan malah lulus Universitas
Cambridge, atau Leeuwenhoek penemu mikroba yang cuma mengecap
sekolah SD dan hanya bicara bahasa Belanda tapi bisa jadi anggota
elit Royal Society karena penemuannya, dll. Kebanyakan manusia
adalah rata-rata, seperti dalam sebaran Gauss, yang paling pintar,
yang tahu tanpa diberitahu hanya sedikit, hanya di sebaran kecil
sebelah kiri. Yang retarded, terbelakang, bodoh juga hanya sedikit,
berada di sebaran kecil sebelah kanan. Sisanya yang membentuk
sebaran utama Gauss adalah manusia rata-rata. Karena itu perlu ada
lembaga/institusi pendidikan dimana hasil kolektif pemikiran,
penelitian dan pengalaman dicoba distandarkan dalam bentuk
pengajaran. Dengan cara ini pendidikan dapat dimaksimalkan. Begitu
pula dengan pendidikan agama, rumah bisa memberikan sejauh yang
tidak diberikan sekolah dan sebaliknya sekolah memberikan sesuatu
yang tidak diajarkan di rumah. Sekolah dan rumah menjadi
komplementer, saling mengisi satu sama lain.

Pendeknya mereka sekolah di Istiqamah dengan segala kelebihan dan,
terutama, kekurangannya. Nisa di SD, Ali di TK. Mereka di situ
sampai tahun 1995, hingga Nisa kelas 2 dan saat Ali baru mulai TK.
Tahun itu kami pergi ke Inggris dimana untuk pertama kalinya mereka
sekolah di Barat, Ali di sekolah persiapan masuk kelas satu, Nisa di
kelas 3. Inilah pertama kalinya anak-anak belajar independensi di
sekolah, di luar rumah, mengapa? Karena di Indonesia, khususnya di
Istiqamah, para ortu tidak sekejap pun meninggalkan anaknya,
menitipkan dan mempercayakannya kepada sekolah. Alih-alih mereka,
khususnya para ibu, bergerombol di dekat kelas dan kalau perlu
mengintip kegiatan anak di dalam kelas. Dan sekolah pun tidak punya
nyali untuk mempersilakan, untuk tidak mengatakan mengusir, mereka
pulang. Di UK dan saya yakin di negeri Barat lainnya, ortu
mengantarkan anak hingga halte bis sekolah atau mengantarkan sendiri
hingga gerbang sekolah, setelah itu terserah anda… eh sekolah.
Terserah para pendidik. Saya kira inilah yang membuat masyarakat
kita sulit independent. Di rumah anak-anak terus tidur bersama ortu,
di sekolah mereka ditunggui, bahkan ketika anak-anak punya acara
berkemah dengan para guru dan rekan-rekan sekolahnya, para ortu
tidak ketinggalan menemani dan ikut camping. What a wonderful world!

Tahun 1996 kami balik lagi ke Indo, dan Nisa serta Ali kembali masuk
Istiqamah. Sebelum mereka lulus SD, tahun 2000 mereka harus menyusul
ayahnya ke Brazil. Sekarang mereka masuk dunia lain, dunia yang
secara terang-terangan mengeluarkan agama dari pelajaran sekolah.
Secara kebetulan, mendukung usaha kami untuk membuat mereka
mandiri/independent, Nisa masuk sekolah yang tidak sama dengan Ali
meski keduanya swasta. Nisa di Mater Dei di kelas 6 dan Ali di
Monteiro Lobato di kelas 3. Orang bilang, Mater Dei lebih liberal
(meski namanya berarti Ibu Tuhan: Maria) sedang Monteiro lebih
konserfatif. Whatever they are keduanya tidak memasukkan pendidikan
agama dalam kurikulumnya. Nah ini dia, tugas dan tantangan yang
lebih berat buat kami para ortu, terutama menyadari betapa liberal
dan hedonistic-nya masyarakat Brazil. Betul ini negeri Katolik
terbesar di dunia yang mestinya sangat relijius. Tak lebih dari
sekadar kata-kata dimulut seperti, "Meu Deus", "Nossa Senhora", "Vai
com Deus", "Se Deus quiser", orang-orang Brazil praktis
sekular. "Agama" bola dan Samba lebih merata dijalankan ketimbang
Katolik. Tentu saja terlepas dari kenyataan bahwa mereka adalah
bangsa yang extremely ramah dan helpful.

Apa yang saya lakukan? Meski kelihatannya seperti Daud (David)
melawan Jalut (Goliath), saya mencoba memberikan pengajaran agama di
rumah: mengaji sehari atau 2 hari sekali dan berdiskusi agama setiap
akhir minggu. Setiap libur yang bertepatan dengan Jumat mereka kami
bawa ke masjid di kota terdekat untuk salat Jumat. Begitu pula pada
saat Idul Fitri dan Idul Adha. Meski saya tidak tahu seberapa jauh
efektifitas Daud melawan Jalut ini, setidaknya ada yang tampak di
luar. Di bulan Ramadan, tanpa kami suruh atau paksa, mereka berpuasa
hampir penuh sebulan. Sebuah praktek yang bahkan orang Brazil pun
tidak habis pikir. Pernah suatu saat mereka bertanya, anda puasa
tapi anda boleh minum `kan? He..he.. What a wonderful world!

Lebih mengkhawatirkan lagi di Brazil ini adalah soal pergaulan,
hubungan antara lelaki dan perempuan. Anak-anak sudah terbiasa
dengan kehidupan yang bukan saja tanpa segregasi tetapi juga berbaur
penuh hampir tanpa batas. Di sekolah-sekolah anak remaja lelaki dan
perempuan berpasangan, berpacaran dan, maaf, berciuman. How are you
going to control this environment? Di rumah Daud berusaha menanamkan
moralitas itu dengan menekankan integritas, kepercayaan dan kesucian
diri. Berulangkali kami tekankan bahwa ortu is helpless dan tidak
tahu apa yang terjadi di sekolah. Namun, kami katakan bahwa kalau
boleh kita rangkum dalam satu kata, Islam itu adalah kepercayaan.
Untuk menjadi Muslim sejati, kalian harus dapat menumbuhkan trust,
kepercayaan, karena inilah satu-satunya bekal yang akan ditanya-Nya
di Hari Kiamat, sebagaimana Quran mengatakan bahwa mulut kita tidak
dapat membela diri karena seluruh anggota tubuh kita akan bersaksi.
Rasul pun pernah merangkumkan ajaran Islam hanya dalam satu kata
ketika ditanya seorang yang bari masuk Islam: Islam itu kejujuran
atau tidak berdusta. Dan hal yang kelihatannya mudah dilakukan itu
ternyata sulit, namun membuatnya terhindar dari fahsya wal munkar
(maksiat dan dosa).

Kami pun menekankan betapa pentingnya memiliki integritas, pribadi
yang teguh, jujur, bisa dipercaya, dapat diandalkan, tidak mudah
terbawa pengaruh buruk, kerja keras dan peduli terhadap orang lain.
Inilah yang coba kami tanamkan tanpa kenal lelah: menumbuhkan
kesadaran, hingga kini. Kesadaran bahwa untuk setiap perbuatan yang
kita lakukan ada perhitungannya (accountability), akan ditanya,
bukan oleh ortu, bukan oleh polisi, tapi oleh Yang Maha Melihat dan
Mengetahui. Usaha yang tidak mudah. Jangankan anak-anak, orang
dewasa pun seringkali sulit menjalani yang satu ini. Sekiranya
mudah, tentulah semua kita sudah menjadi taqwa atau muhsin, orang
yang berihsan, yakni yang memiliki kesadaran bahwa Allah senantiasa
mengawasinya. Karena itu reminder, pengingat, penting untuk terus
diberikan. Jangan pernah bosan mengingatkan mereka dan jangan pula
bosan untuk diingatkan. Inilah constant effort yang menjadi
prioritas utama dalam pendidikan keluarga.

Orang sering dengan mudah mengatakan, "gampang, suruh saja mereka
salat dan puasa, pasti semuanya beres". Well, saya tidak termasuk
yang begitu saja menerima itu tanpa penjelasan. Kalau begitu
mestinya negeri kita ini adalah negeri yang paling makmur karena
kebanyakan orang tidak korupsi, tidak KKN, karena peraturan tegak
dengan dilakukannya salat, puasa dan haji. Kenyataan justru
menunjukkan sebaliknya. Mengapa? Karena orang melakukan semua itu
tanpa kesadaran. Salat dan puasa yang tidak dapat mencegah kekejian
dan kemungkaran. Salat, puasa dan haji sekarang hanya seperti
pakaian buat tubuh kita, hanya pembungkus, hanya baju si Abdi dan
bukan si Abdi yang sebenarnya. Mereka seperti jasad tanpa ruh, tanpa
jiwa, tanpa hati, hanya zombie, dead body yang berjalan ke sana ke
mari tanpa perasaan. Menumbuhkan kesadaran, merawat hati nurani,
menjaga consciousness, awareness, Nabi atau Imam dalam diri kita
agar dengan tegas dapat menunjukkan yang salah itu salah dan yang
benar itu benar (bukan motto-nya koran PR), adalah usaha keras kita
seumur hidup.

Saya keletihan nih, Dra. Nanti kita sambung lagi.

Wassalam,
Abdi