Sunday, September 02, 2007

Ber-fotografi Ria

http://www.johnharveyphoto.com/Top%20Page/Learn.html


Assalam alaikum (jangan disingkat “Ass”, nanti dikira "swearing"; kalau mau singkat “Salam”),

Sekadar berbagi cerita. Sejak tahun-tahun terakhir di Embraer, John mulai menjalankan hobi yang diidam-idamkannya sejak mahasiwa. Saya tidak tahu setelah dia hijrah ke UK; saya duga dia masih tetap dengan hobinya itu, mungkin sekarang tidak lagi dengan yang mekanik tapi dengan SLR digital. Maklum ini era cyberspace. Lihat: http://www.dpreview.com/learn/

Ada kawan lain yang juga senang fotografi, namanya Suwito. Mestinya sebagian rekan-rekan di sini tahu dia. Saya ingat waktu kami ke Belanda, Cak Wito bawa perlengkapan besar kamera, tripod, lampu kilat (flash), etc. Tak peduli berapa pun beratnya dia tenteng itu alat kemana pun kami pergi; dari Keukenhoff (bener nulisnya?) sampai Driebergen-Rijsenburg (?) sang kamera tak kunjung tertinggal. Yang beruntung saya karena beberapa kali jadi latar depan obyek yang diambilnya.

Saya sendiri (ngaku-ngaku) punya hobi fotografi juga. Interes dimulai sejak 81-an, awal kuliah. Belajar dari seorang teman mahasiswa senior Seni Rupa ITB (Agus something) mulailah saya gunakan Ricoh XR-500 milik ayah saya untuk belajar teknik panning, depth of field, stop shot, bulb, zooming, etc. Bagusnya selain normal 50mm, ayah juga punya wide angle 35mm dan variable zoom 75-150mm meski we were not “wealthy” enough to have fish eye atau variable zoom 28-200mm yang dengan itu kita bisa mencakup wide angle, standard hingga zoom. Saya juga belajar menggunakan berbagai filter, termasuk self-invented filter kayak melapisi lensa dengan kertas tissue tipis untuk membuat obyek lebih blurry dan terkesan klasik.

Namun hobi anyar ini tidak hanya membawa berkah (blessing) tapi juga bencana (curse/disaster). Saya melakukan percobaan yang TERLALU mahal, bukan dalam pengertian uang tapi KORBAN. Tidak berhasil mencari photographer in the last minutes jadilah saya tukang foto “gadungan” untuk mengabadikan pernikahan kakak perempuan saya. Alamak, maklum anak kemarin sore (dalam foto memfoto), dari 6 rol filem yang dipakai hanya 3 yang “jadi” dan acceptable. Poor my sister! Maybe I am one of her past bad memories. Kakak perempuan saya yang berikutnya (my direct sister) jauh lebih beruntung karena saat dia menikah I was somewhat of an expert . She was more than happy having had a self-proclaimed-professional sibling photographer for free of charge!

Berikutnya yang jadi sasaran saya adalah kebun binatang Bandung; mulai dari saudara kita monyet sampai harimau, ular dan buaya darat he..he.. semua kena jepretanku.

Sialnya saat ini saya terlalu malas untuk back on track lagi. Meski tidak pernah lupa bawa kamera kompak digital kemana pun kami melancong, saya tidak mengkhususkan diri membuat foto-foto artistic lagi. Mungkin suatu saat bakalan terpikir untuk mulai kembali hobi yang sudah lama melempem ini.

Oentoengnya Ali anak saya ngambil fotografi juga di SMA-nya. Cukup mengharukan menyadari bahwa kamera yang digunakannya adalah kamera yang sama yang saya gunakan: The Ricoh XR-500! Kamera tiga generasi: Djamil, Abdi dan Ali Soeherman. Satu kelebihan yang Ali miliki adalah kesempatannya mendapatkan teknik kamar gelap (dark room). Karena langka, mahal dan biasanya hanya dimiliki toko foto, saya tidak seberuntung seperti dia. Tentu saja kita bisa berkilah, “Jaman kiwari buat apa itu, toh foto bisa langsung dicetak sendiri atau di-burn ke CD”. Well, pengetahuan tidak pernah ada yang useless. Serupa dengan itu, meski mobil sekarang sudah berteknologi hybrid dan suatu saat fully reliable electrical dan bahkan bertenaga matahari, pengetahuan dasar tentang mesin tidak dengan sendirinya menjadi usang.

Udah ah, kata si AQ mah kok jadi ngacapruk. Ya sekadar berbagi obrolan. The moral is untuk memulai hobi ini you don’t have to be Donald Trump first atau (ah nanti rame lagi)... Yang jelas modalnya satu saja: kahayang, will power. Kata ortu kita: dimana ada kemauan di situ ada jalan! Selamat berfoto ria.