Tuesday, July 10, 2007

Sejarah Ringkas Setelah Wafat Rasulullah SAAW - Bagian 2

February 8, 2006

Salaam Alaikum,

Pada saat tulisan ini saya buat, Indonesia telah
memasuki malam Asyura, malam 10 Muharam. Tidak peduli
apa mazhab anda, malam ini dan keesokan harinya
diperingati sebagai peristiwa paling menyedihkan dalam
sejarah Islam. Cucu kinasih Baginda Nabi Saaw, insan
yang senantiasa disebut Baginda sebagai anaknya
sendiri, Sayidina Husain As, syahid di dataran tandus
Karbala.

Malam ini 1300 tahun yang lalu, Pemuka Ahli Surga ini
mengumpulkan para sahabatnya di tenda yang muram yang
seakan tahu esok hari tragedi besar akan datang. Imam
sekali lagi menawarkan “pembebasan” kepada para
Sahabat dan Pengikutnya yang sejauh ini masih
bersamanya. Beliau menegaskan bahwa ia telah
melepaskan baiat mereka sebagai sahabat dan
pengikutnya yang dengan itu mereka dapat pergi
meninggalkan beliau sendiri. Beliau berkata bahwa
musuh mencarinya, bukan mereka, dan karenanya mereka
boleh pergi. Tapi apa kata mereka? Salah seorang
berkata, “Hai Putra Rasulullah (Yabna Rasulullah),
bagaimana mungkin kami dapat menjalani hidup sesudah
kematianmu? Demi Allah, sekiranya kami terbunuh di
medan pertempuran esok dan Allah menghidupkan kami
kembali, lalu kami terbunuh dan Allah menghidupkan
kami lagi; begitu seterusnya hingga ribuan kali, maka
hal itu jauh lebih baik daripada pergi meninggalkanmu
sendiri.”

Saya tidak punya cukup waktu untuk menulis panjang.
Kisah kepahlawanannya dan perjuangannya menegakkan
agama telah banyak ditulis orang. Sejarah telah
mencatat dan membukukannya dengan baik. Bagi anda yang
memiliki rasa ingin tahu (curiosity) yang besar telah
banyak informasi yang dapat anda akses lewat media
apapun. Satu saja kuncinya: kepedulian.

Hanya satu hal penting untuk saya kemukakan di sini.
Ingatlah sekiranya Husain tidak bangkit menentang
kezaliman Yazid, punahlah sudah Islam yang dibawa
Baginda Nabi. Atau kurang dari itu Islam yang sampai
kepada kita mungkin telah berubah begitu rupa sehingga
sekiranya Baginda hidup kembali beliau tidak akan
mengenalinya lagi. Ironis, kita harus berterima kasih
atas kematiannya. Kita bergembira dan bersedih,
tertawa dan menangis, bersyukur dan meratap: karena
tetap jayanya Islam dan karena gugurnya manusia mulia
ini. Pendeknya dia telah mengorbankan hidupnya agar
Islam yang sejati dapat hidup, bertahan dan tumbuh.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

Sunday, July 08, 2007

Re: [Al-Irfan] Wajah Rasul - Bagian 1

Wed Jun 27, 2007

1. Kemarahan Rasul

Alaikum Salam AQ,

Sekali lagi, marah Rasul itu sama halnya dengan marah Allah, tidak mengurangi kebesaran dan keagungannya. Sebagaimana kita bisa memahami Allah itu Ghafur al-Rahim, al-Rahman (Maha Pengampun, Mahakasih dan Mahasayang), Dia pun Syadid al-Iqab (Mahapedih Siksanya). Silakan simak Asmaul Husna-Nya. Di situ terkandung sifat-sifat-Nya yang menunjukkan kewelas-asihannya namun juga kekerasan dan ketegasan-Nya. Karena itu Allah mengajari kita untuk memiliki sikap dan sifat Khauf (cemas, pesimistic) dan Raja' (penuh harap, optimistic). Ketika kita berada dalam keputus-asaan karena kesalahan dan dosa yang kita perbuat, kita dalam keadaan khauf. Mati aku! Allah pasti akan mencemplungkan aku ke neraka yang paling pedih. Sia-sia saja aku bertobat dan berbuat baik sesudah ini. Saat itu Allah mengingatkan, “Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang" (Surah az-Zumar, ayat 53). Maka tumbuhlah kembali harapan (raja') dalam diri kita.

Sebaliknya, ketika kita merasa bahwa kitalah satu-satunya yang paling benar, ahli Surga, yang paling takwa, ujub, kibr dan takabur (arrogant) atau yang merasa "holier than thou", maka Allah mengingatkan:

Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong. [16:23],

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. [31:18]

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang sombong lagi membanggakan diri. (QS An-Nisa': 36)

[76] Iblis berkata: "Aku lebih baik daripadanya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah".
[77] Allah berfirman: "Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk,
[78] sesungguhnya kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan". [38:76-78]

Maka kita akan merasa cemas (khauf) dengan ancaman-ancaman Allah ini. Segera kita akan memperbaiki diri kita untuk menjadi rendah hati, humble. Pendeknya, seorang Muslim akan senantiasa berada dalam "mood swing": khauf dan raja'. Muslim tidak akan seperti Kaum Kristiani yang selalu merasa pasti masuk surga karena melihat Yesus dan Tuhan Bapak dalam wajah yang Maha Pengampun, Welas Asih. Mereka tidak mengenal khauf dan senantiasa penuh harap dan keyakinan (raja'). Sementara orang-orang Yahudi hanya melihat Yahwe sebagai Tuhan yang hanya menghukum dan keras siksa-Nya. Mereka melihat Tuhan hanya dari sisi marahnya semata. Mereka selalu dalam kecemasan (khauf) dan tidak pernah mengenal raja'.

Begitu pulalah Baginda Rasul. Beliau SAAW, sebagai wakil/khalifah Allah di muka bumi, TIDAK hanya berwajah dan bersikap lembut dan welas asih melainkan juga keras, tegas dan marah karena Allah. Sekiranya beliau hanya welas asih saja maka tak akan ada penegakkan hukum dan keadilan di muka bumi ini. Sikap marah dan tegas Baginda sama sekali tidak muncul dari dan buat kepentingan pribadinya. Kemarahan Nabi adalah kemarahan Allah. Kemarahan Fatimah adalah kemarahan Rasul, dan kemarahan Rasul adalah kemarahan Allah. Di pihak lain Rasul berkata, kerelaan Fatimah adalah kerelaan Rasul dan kerelaan Rasul adalah kerelaan Allah. Ini berarti untuk mencari ridha Allah, untuk tidak membuat Allah marah, maka kita HARUS berbuat sesuatu yang membuat Rasul ridha dan tidak marah. Untuk tidak membuat Rasul marah dan Ridha, kita TIDAK BOLEH membuat Fatimah marah. Kita harus membuatnya ridha. Fatimah (dan Ahlul Bait) adalah barometer keridaan dan kemarahan Allah. Inilah inti dari sabda Baginda SAAW, tidak ada hubungannya dengan kepentingan pribadi beliau. Sayang sekali kedua Syaikh itu telah membuat Fatimah marah, membuatnya tidak ridha. Artinya keduanya telah melakukan ketidak-adilan kepada Sayyidatun Nisa il 'Alamin ini.

Sebaliknya untuk hal-hal yang bisa dianggap sebagai kepentingan beliau, Sang Rasul sangatlah tegas. Beliau dengan tegas tidak memberikan pembantu dari tawanan perang kepada putri kinasihnya itu meski tahu tangan dan jari-jarinya melepuh karena menumbuk gandum sendiri. Beliau SAAW pun bersabda di hadapan khalayak ramai bahwa sekiranya Fatimah mencuri maka beliau sendirilah yang akan memotong tangannya. Beliau SANGAT mendahulukan kepentingan umat dan keadilan di atas keperluan diri dan keluarganya. Tidak ada istilah kolusi dan nepotisme buat Sang Nabi.


Wassalam,

Abdi M. Soeherman