Wednesday, June 20, 2007

Re: Isu poligami, Other Perspective; Sebuah Tanggapan

Re: Al-Irfan, 20 Juni 2007

Alaikum Salam,

Pertama, poligami itu bukan bagian dari aqidah. Yang termasuk aqidah adalah: Tauhid, Nubuwah (Kenabian) dan Qiamat. Mazhab lain memasukkan juga Imamah (Keimaman) dan Keadilan Ilahi. Aqidah itu dikelompokkan dalam Ushuluddin, Prinsip/Fondasi agama.

Poligami masuk dalam pembahasan Fiqh, yang merupakan Furu-uddin, cabang-cabang agama, di bawah bab muamalah.

Kedua, kita sepakat di sini bahwa poligami itu bagian atau disebutkan dalam Al-Quran. Tidak ada seorang pun di sini yang membantahnya. Tafsir yang dikutip Laith justru membahas tentang ayat-ayat itu. Kita pun tidak berpretensi atau berdalih seperti mereka yang apolojetik. Kita, setidaknya saya, tidak punya inferiority complex menghadapi Barat atau mereka yang anti Islam. Kita di sini berdiskusi untuk mendudukkan masalah pada tempatnya.

Ketiga, sesuatu yang disebutkan dalam Quran tidak berarti WAJIB dipraktekkan. Contoh: perbudakan. Quran mengizinkan anda memiliki budak; apakah itu berarti saat ini juga anda harus mempunyainya? Kalau jawabannya ya saya tidak akan menyalahkan anda sepenuhnya mengingat ada orang-orang yang secara keliru memahaminya; contohnya adalah apa yang dilakukan oleh majikan-majikan Saudi yang memperkosa TKW kita dengan dalih mereka budak. Tidak heran pemahaman Islam mereka pun begitu kering dan sangat ekstrim.

Karena Quran bersifat universal ia mesti mencakup segala zaman dan tempat. Pada era dimana Baginda Nabi SAAW diturunkan, poligami merupakan praktek normal dan lumrah. Pada saat itu memiliki 10 istri atau lebih bukanlah sebuah kekecualian. Pada masyarakat kesukuan yang peperangan merupakan bagian dari aktifitas sehari-hari hal seperti itu tak terhindarkan. Sebagaimana kebiasaan yang juga diterima oleh peradaban lain seperti Roma dan Persia, mereka yang kalah dalam peperangan tidak punya pilihan lain kecuali para lelakinya dibunuh dan para perempuannya dijadikan budak. Para budak ini bisa sedikit beruntung dengan diberikannya pembebasan namun tetap harus berbagi sebagai istri dengan puluhan perempuan lain dalam keluarga poligamis. Pada saat sang suami meninggal, mereka akan diwariskan kepada anak lelaki pewaris.

Rasul datang dengan perintah Allah bukan saja untuk membatasi jumlah perempuan yang dimadu menjadi empat melainkan juga memberi kesempatan kepada tawanan perang lelaki untuk menebus pembebasannya dengan mengajarkan baca tulis kepada anak-anak Muslim.

Tidak hanya membatasi poligami beliau bahkan menunjukkan kehidupan monogamisnya dengan Siti Khadijah AS. Hal yang sama juga ditunjukkan Saidina Ali KW bersama Siti Fatimah Az-Zahra AS. Dan inilah puncak kebahagiaan dan kejayaan rumah tangga Rasulullah SAAW dan Imam Ali KW karena sesudah wafatnya kedua Sayyidatun Nisa tersebut pernikahan poligami mereka lebih merupakan “transaksi” sosial dan politik tanpa mengorbankan prinsip keadilan.

Dari sini kita melihat bahwa Rasul dan Ahlul Baitnya mengajarkan bahwa kehidupan yang normal adalah kehidupan yang monogamis, terutama bila sang lelaki tidak dapat berlaku adil, dimana suami dan istri saling berbagi dan berjuang bersama dan menghadapi kesulitan dalam suka dan duka. Bandingkan dengan beberapa lelaki, termasuk para tokoh agama, yang membangun rumah tangganya dari nol dan setelah jaya sang suami “membalas” seluruh kebaikan dan dukungan sang istri dengan memberinya kawan baru: sang istri muda. Saya bahkan mendengar kisah tentang seorang istri yang bahu membahu membangun rumah tangganya dengan sang suami dan harus merelakan sang suami menikah lagi ketika dia mengalami sakit yang berat. Inikah yang anda maksud dengan membuat pahala besar buat istri? Terlalu sering kita membodohi diri kita sendiri dan perempuan-perempuan malang itu dengan dalih ini. Harap diketahui, urusan pahala itu terserah Allah. Sudah jelas sang istri yang dimadu akan memperoleh pahala dan anugrah Allah karena, menurut Nabi SAAW, doa orang yang dizalimi itu akan didengar dan dikabulkan-Nya. Sementara itu buat yang memadu, well, urusannya sepenuhnya berada di tangan-Nya, tergantung dari niatnya (innamal a’malu bin- niyyah), terutama bila dia tidak dapat berlaku adil.

Berkenaan dengan alasan “daripada selingkuh atau berzina” marilah kita berterus terang. Kita ini bukan anak-anak yang manja yang sedikit-sedikit main ancam. Kalau nggak dikasih mainan, nggak makan; kalau nggk diberi uang, nggak mau tidur. Orang disebut baligh dan dewasa bila dia mampu mengendalikan dirinya. Hidup ini ujian dan godaan dan sebesar-besarnya perjuangan adalah melawan dorongan hawa nafsu. Inilah jihad akbar. Ingat, sebagai makhluk materi manusia cenderung tidak pernah puas. Kata Rasul SAAW apabila dia diberi kekayaan satu gunung, dia akan meminta gunung yang kedua. Diberi yang kedua dia akan meminta yang ketiga, dan seterusnya hingga tanah membenam mulutnya (mati, dikubur). Tanyalah hati nurani ketika kita menginginkan perempuan yang kedua: apakah karena “emergency” atau demi memperoleh gunung yang kedua?

Dan jangan lupa manusia adalah makhluk yang pling handal dalam membuat pembenaran (justification). Selalu saja ada dua alasan/jawaban: yang sebenarnya dan tak terungkap (real motive) atau yang tersembunyi dan terungkap (hidden motive, vested interest). Alasan yang terungkap: daripada berzina, menolong perempuan lain, ratio perempuan terhadap lelaki lebih besar, etc. Alasan yang tak nampak: geulis euy, jatuh hati pada pandangan pertama, ingin variasi karena bosan dengan istri, etc. Marilah kita berterus terang.

Wallau a’lam,

Abdi M. Soeherman

Tulisan yang ditanggapi:
Assalamualaikum Wr. Wb.

Seringnya orang menyoroti masaalah polygami dari sudut pandang perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Karena persoalan ini sering di usung oleh kelompok yang ingin menyerang akidah Islam dengan dalih kemerdekaan hak perempuan, Kenapa akidah? Suka tidak suka polygami dengan segala kondisinya tercantum di dalam Al-Quran sehingga bisa dibilang bahwa Polygami adalah bagian dari akidah Islam. Jadi lucu kalau ada seorang aktris yang berkerudung dan kelihatan Islami dengan lantang menyatakan tidak setuju polygami, karena dengan berkata demikian berarti dia tidak setuju Al-Quran atau menantang Allah, Naudzubillahi! Lebih tepat kalau dia bilang "saya tidak suka/mau di polygami dan minta cerai" beres. Toh Islam memudahkan urusan kawin dan cerai ini.

Apapun alasan Allah membolehkan polygami, hanya Allah yang paling tahu walaupu manusia sering berusaha mencari tahu dengan menghubungkan ini dan itu. Yang jelas Islam agama yang realistis dalam artian Allah mahfum dengan segala kekurangan manusia, tidak membebani dengan sesuatu persoalan yang diluar kemampuan manusia, selalu memberi jalan keluar. Juga realistis dalam artian apapun yang dilakukan manusia baik atau buruk akan ada ganjarannya di akhirat.
Ini berbeda dengan doktrin agama lain yang terpengaruhi romantisme (gaya Roma kali ya..) 'seorang berkorban mati untuk menanggung semua dosa umat manusia' atau romantisme sehidup semati gaya Romie and Juliet sehingga perkawinan cukup sekali (idealnya), tapi manusia dikarunia nafsu dan kehidupan perkawinan sering diwarnai dengan permasaalahan hidup, sehingga bila perkawinan mengalami kebuntuan gaya hidup perselingkuhan dan seks
bebas yang timbul. Kalau sudah begini manusia tak berbeda dengan binatang.

Tidak banyak orang yang melihat dari sisi bagaimana hukumannya atau seberapa besar dosanya atas perbuatan perselingkuhan dan seks bebas ini menurut agama Islam. Karena orang ngeri atau berusaha menghindar ketika disinggung mengenai sariah Islam.

Menurut Al-Quran:
The woman and the man guilty of adultery or fornication flog each of them with a hundred stripes: let not compassion move you in their case in a matter prescribed by Allah if ye believe in Allah and the Last Day: and let a party of the Believers witness their punishment. (Sura 24, An-Nur)
(Banyak pendapat ahli bahwa ayat ini lebih diperuntukkan pada yang belum nikah, bagi yang sudah menikah dirajam sampai mati)

Menurut Hadis Sahih Al-Bukhari:
Narrated Abu Huraira
A man came to Allah's Apostle while he was in the mosque, and he called him, saying, "O Allah's Apostle! I have committed illegal sexual intercourse." The Prophet turned his face to the other side, but that man repeated his statement four times, and after he bore witness against himself four times, the Prophet called him, saying, "Are you mad?" The man said, "No." The Prophet said, "Are you married?" The man said, "Yes." Then the Prophet said, "Take him away and stone him to death." Jabir bin 'Abdullah said: I was among the ones who participated in stoning him and we stoned him at the Musalla. When the stones troubled him, he fled, but we over took him at Al-Harra and stoned him to death.

Narrated Anas
I will narrate to you a narration which nobody will narrate to you after me. I heard that from the Prophet. I heard the Prophet saying, "The Hour will not be established" or said:
"From among the portents of the Hour is that the religious knowledge will be taken away (by the death of religious Scholars) and general ignorance (of religion) will appear; and the drinking of alcoholic drinks will be very common, and (open) illegal sexual intercourse will prevail, and men will decrease in number while women will increase so much so that, for fifty women there will only be one man to look after them."

Narrated Abdullah bin Masud
I said, "O Allah's Apostle! Which is the biggest sin?" He said, "To set up rivals to Allah by worshipping others though He alone has created you." I asked, "What is next?" He said, "To kill your child lest it should share your food." I asked, "What is next?" He said, "To commit illegal sexual intercourse with the wife of your neighbor."

Narrated Anas
I will narrate to you a narration which nobody will narrate to you after me. I heard that from the Prophet. I heard the Prophet saying, "The Hour will not be established" or said: "From among the portents of the Hour is that the religious knowledge will be taken away (by the death of religious Scholars) and general ignorance (of religion) will appear; and the drinking of alcoholic drinks will be very common, and (open) illegal sexual intercourse will prevail, and men will decrease in number while women will increase so much so that, for fifty women there will only be one man to look after them."
(Sampai saat ini statistik dunia masih menunjukan sex-ratio yang imbang http://en.wikipedia.org/wiki/Sex_ratio)

Karena tidak berlakunya hukum Islam, maka orang tidak mengambil serius apa akibat atau ancaman dari perzinahan
sehingga, ketika seseorang memilih hidup berpolygami dengan alasan menghindari zinah, orang dengan enteng berkata "alasan klasik". Lebih bijaksana kalau kita tidak buru-buru menjudge seseorang yang berpolygami, apapun alasannya akan dia pertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT.

Buat kaum istri, Masya Allah pahalanya besar karena telah menghindarkan sang suami dari melakukan dosa besar dan bila masih mencintai suami dan keluarga walaupun diperlakukan tidak adil Insya Allah pengorbanannya juga akan mendapat ganjaran dari Allah SWT.

Maafkan bila ada kekurangan/kesalahan karena keterbatasan pemahaman saya, kebenaran hanya milik Allah SWT. Sedikit yang saya tahu sedikit pula yang saya bisa sampaikan.

Wassalamualaikum
Jq

Wednesday, June 13, 2007

The True Face of Islam

March 19, 2001

Despite its violent image in the West, the religion is a balm to
millions in an otherwise cruel and crowded world. Witness
Egypt

By Zachary Karabell
NEWSWEEK INTERNATIONAL


March 19 issue - Islam may be one of the world's
most important religions, but in the West, at
least, it has an image problem. Hizbullah in
Lebanon, Hamas in the West Bank,
fundamentalist violence in Indonesia, the
"mullocracy" of Iran, all are seen as
representative of the rage that is Islam. That, in
fact, was the main thrust of a Feb. 19 piece in
NEWSWEEK on Osama bin Laden and the new
wave of Islamic terrorist groups.


YET THESE GROUPS no more represent Islam than
the Branch Davidians of Waco, Texas, represented
Christianity or the Aum Shinrikyo represented Japanese
spirituality. Islam is a religion held dear by nearly a billion
people, and it shouldn't surprise us that there are more than
a handful of extremists. But on a recent trip to Egypt, I
found little evidence of them. Yes, a few marginal cells of
violent radicals still exist, despite the draconian efforts of
Hosni Mubarak's secret police. But for tens of millions of
Egyptians, Islam is an oasis of calm.

Egypt's population is fast approaching 70 million, and
with a growth rate just under 2 percent annually,
overpopulation is a very real problem. Cairo has one of the
highest population densities on the planet, and the rest of
Egypt's minimal amount of arable land is quickly becoming
saturated with people and unchecked growth. The
government subsidizes food and housing, which is a small
blessing, but jobs are scarce, early mortality looms and the
international economy seems to be passing Egypt by.
In this dreary context, Islam is a balm and a salve. The
hour-and-a-half drive from Cairo to the industrial port city
of Suez is dusty and ugly, festooned with debris and
billboards. But it is at least broken up by the names of God
lining the median. In Islam, God is said to have 99 names,
which include "The Compassionate" and "The Merciful,"
and they are posted, every 100 yards, all the way from
Cairo to Suez. My driver was quick to point this out, and
we spent the better part of the ride listing the names and
negotiating the fare. I had met him early that morning, and
he had been 10 minutes late because of prayer, which he
performed in the hotel's coat room with several of the
bellhops.


I took a bus from Suez to the canal city of Ismailia.
The bus was an old, creaky box stuffed full of people. But
for the first half hour, there was a preternatural calm as
everyone sat quietly and listened to a tape of a mellifluous
Quran reciter, as pure and simple as Gregorian chant. At
every juncture, Islam in Egypt defies our stereotypes. The
al-Azhar mosque and university in central Cairo is one of
the most conservative bastions of Islam in Egypt. Recently
the sheik of al-Azhar condemned the writings of a number
of authors, and the government has not stood in the way of
several of these being brought to trial. The sheik of
al-Azhar, like all clerics in Egypt, is a government employee
and receives a stipend from the state. But inside the mosque
itself, you would never guess that this is a center of Islamic
intolerance. The sheiks are friendly, and if you speak a little
Arabic, they will happily talk about the architecture,
renovations and history of the place. They are not interested
in proselytizing, and when I told them I was from America,
they smiled and said simply, "You are welcome."
For most Egyptians, Islam is intensely personal. Like
many American Protestants, Muslims tend to emphasize the
relationship between each individual and God, without
intermediaries. In a world of sprawling prefab concrete
housing projects, with high unemployment, an indifferent and
occasionally brutal government, Islam is part of the warp
and woof that maintains community and gives people some
sense that life has meaning.
There are those who would say that all this proves is that Islam
is an opiate for the masses, but who are we to say? Islam may not
solve the more intractable problems, and in soothing the
dislocations it may even make some things
worse. But then again, if you go to the Citadel in
Cairo on a Friday, as I did, you can stand, perched above
the city with the mosque of Muhammad Ali at your back,
and you can peek above the torrential smog that envelops
the city of 12 million people, and you can just make out the
Pyramids in the distance. You can listen, not to the sound of
cars or factories, but to the call to prayer, sounded
throughout the city, reminding all listeners of God's
compassion and mercy. It is a haunting symphony, and
juxtaposed with the devastation of overpopulation and
stagnant growth, it allows you to close your eyes and feel, at
least for a few moments, that all is well with the world.

Karabell is the author of "A Visionary Nation: Four
Centuries of American Dreams and What Lies Ahead,"
to be published by HarperCollins
(c) 2001 Newsweek, Inc.

Kepemimpinan Didalam Keluarga, Sebuah Tanggapan

Re: [Al-Irfan] - 10 Juni 2000


Ini memang cliche (klise). Bukan hanya para mubaligh saja yang mendawamkan hal ini berulang-ulang, juga para mubalighat, seakan-akan ingin mempertegas `dominasi` laki2 kepada perempuan.

Kalau Anda pernah membaca satu tulisan Kang Jalal dalam Tempo beberapa waktu yang lalu mungkin Anda akan sadar bahwa selama ini kita sebetulnya menerima riwayat2 yang tidak sahih. Lebih menyedihkan lagi ini semua dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, yang sangat menghormati perempuan, yang kehadirannya justru untuk memuliakan mereka setelah orang-orang Arab menghinakan mereka dengan mengubur mereka hidup-hidup saat lahir.

Ada banyak bukti bahwa riwayat2 yang menunjukkan `kelebihan` laki-laki itu di-`pelintir` dan dinterpretasikan sesuai dengan kepentingan laki-laki. Maklumlah mayoritas ulama laki-laki dan masyarakat Arab sangat patriarkal sebagaimana halnya kita. Beberapa hadis yang disebutkan di sini nyata-nyata tidak sahih secara matan (isi) dan rantai periwayatan. Contoh yang paling populer dan sering diulang-ulang adalah riwayat perempuan yang karena `taat`-nya kepada suami rela tidak mengunjungi ayahnya yang sakit bahkan kemudian sekadar untuk menghadiri pemakamannya. Seandainya Rasulullah masih hidup saat ini dan mendengar itu maka beliau akan sedih dan kecewa bagaimana mungkin misinya yang mulia untuk mengangkat harkat perempuan sekarang
diputarbalikkan begitu rupa bahkan oleh para pengikut dan ulama `shalih`nya.

Apakah ada diantara anda yang pernah mengetahui bagaimana Rasulullah memperlakukan istrinya begitu mulia, bahkan membantu pekerjaan dapur mereka, yang oleh sebagian muslim laki-laki `shalih` saat ini dianggap sebagai KEWAJIBAN istri. Adakah diantara Anda yang tahu bahwa bahkan untuk menyusui anak mereka sendiri pun Rasulullah memerintahkan suami MENGUPAH istrinya karena itu bukan KEWAJIBAN perempuan2/istri2. Bahkan Saidina Umar berkata tentang istrinya, setelah ia mengeluh karena kecerewetan istrinya, "aku tidak ingin menceraikan dia betapa pun dia menjengkelkan hatiku, ini karena aku tahu betapa berat bebannya membantu aku, membesarkan anak2ku, memelihara
harta dan rumahku, memasakkan buatku, dll, padahal itu bukan KEWAJIBAN
dia."

Nah sekarang kita yang bukan Umar dan, apalagi, Rasulullah tiba-tiba merasa menjadi lebih layak ditaati dan dilayani oleh perempuan karena kita laki-laki dan hanya setelah kita membaca satu dua riwayat dan ayat Quran yang dienterpretasikan oleh kelelakian kita. Apa yang harus kita katakan kepada Rasulullah nanti di Yaumil Mahsyar saat Rasul menanyakan kepada kita apakah kita sudah melaksanakan amanat beliau yang disampaikan saat haji wada, untuk merawat, menjaga dan menghormati perempuan`?

Ayat Quran yang mengatakan `al-rijalu qawwamuna alan Nisa` berarti `laki-laki adalah qawwam bagi perempuan`. Qawwam dalam pemahaman Arab yang sejati berarti pengayom, pelindung, perawat, penjaga. Itu sangat bersesuaian dengan amanat Nabi pada saat Haji Wada`nya. Lalu bagaimana mungkin tiba-tiba itu berarti `laki-laki (adalah) LEBIH UTAMA dari perempuan`. Tidakkah Anda tahu ayat lain, surat al-Ahzab most likely, yang mengatakan al `laki2 yang shalih, perempuan yang shalih, laki2 yang taat, perempuan yang taat, laki2 yang dermawan, perempuan yang dermawan ...etc.. semuanya mendapat ganjaran yang sama di sisi Allah`. Kalau Allah dan Rasul saja menyejajarkan perempuan dan laki2, bagaimana mungkin sekarang kaum muslim laki2, dan sebagian perempuan, menganggap laki2 lebih utama dari perempuan dan karena itu harus
lebih ditaati dp sebaliknya.

Wallahu a`lam bish-shawwab,
Wassalam,
AMS

Tulisan yang Ditanggapi:
Forwarded from hikmah@isnet.org

Assalamu'alaikum wr. wb.

Mutiara Shubuh : Jum'at, 09/06/00 (06 Rabiul Awwal 1421H)
Kepemimpinan Didalam Keluarga

A'udzubillahi minassyaithanirrajim, Bismillahirrahmanirrahim,

Akhir-akhir ini marak sekali polemik tentang kepemimpinan seorang wanita dalam suatu kelompok masyarakat. Dalam syariat Islam sudah jelas sekali digariskan aturan ini yang tentunya didasari atas kelebihan dari laki-laki atas wanita. Jadi setiap lelaki itu dituntut menjadi seorang pemimpin dikelompoknya setidak-tidaknya didalam keluarganya sendiri, yang memimpin terhadap istri dan anak-anaknya. Hal ini diatur dalam Al-Qur'an: "Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta
mereka. Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang ta'at kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta'atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar" (QS 4:34).

Terlihat garis komando yang jelas pada ayat diatas bahwa dalam suatu masyarakat yang dicontohkan dalam suatu keluarga bagaimana peranan seorang lelaki (suami) tehadap istrinya. Dia diwajibkan memimpin, membimbing dan mengarahkan garis-garis besar haluan keluarganya serta bertanggung jawab atas aktivitas seluruh anggota keluarganya kepada Allah swt baik didunia apalagi di akhirat. Rasulullah saw pernah bersabda: "Kamu sekalian adalah pemimpin,dan kamu sekalian ditanya tentang rakyatnya. Raja memimpin dan suami mempimpin pada keluarganya dan istri memimpin terhadap rumah tangga suaminya dan anak-anaknya. Maka kamu sekalian memimpin dan akan bertanggung jawab atas pimpinan terhadap rakyatnya" (HR Bukhari dan Muslim). Jadi sebagai seorang pemimpin hendaklah kita benar-benar memegang amanah kepemimpinan itu, tentu dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kita. Bagaimana kita bisa memimpin jika kita tidak membekali diri kita sendiri dahulu karena seorang pemimpin itu adalah tauladan atau panutan bagi orang yang dipimpinnya. Jika pemimpinnya baik maka insya Allah yang dipimpin pun akan baik dan sebaliknya jika pemimpinnya bobrok, bagaimana mungkin akan menghasilkan bawahan yang baik tentu akan bobrok juga bahkan mungkin lebih bobrok dari orang yang ditauladaninya itu. Bak kata pepatah "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari".

Dengan halnya wanita, juga dituntut keta'atannya kepada suaminya. Dia diwajibkan untuk menta'ati apa yang diinginkan oleh suaminya, tapi tentu selagi hal itu masih dalam garis keislaman. Bahkan Rasulullah saw pernah bersabda: "Andaikan saja dapat mennyuruh seseorang sujud kepada orang, niscaya saya suruh wanita sujud kepada
suaminya".

Jangankan hanya untuk keluar dari rumah suaminya, untuk puasa sunnah saja seorang istri itu haruslah dengan seijin suaminya. Hal ini digambarkan oleh suatu riwayat seorang sahabat yang meninggalkan istrinya untuk mencari nafkah, yang ketika itu salah satu orang tua si istri sakit keras. Saking ta'at si istri terhadap suaminya karena tidak sempat minta ijin menjenguk orang tuanya tersebut, maka hingga orang tunya tersebut terlanjur meninggal dunia tapi belum sempat dijenguknya, karena dia tidak mau meninggalkan rumahnya tanpa seijin suaminya. Beginilah profil seorang istri yang ta'at kepada suaminya dan tentu suaminya sangat meridhoi langkahnya dan tentu akan berlanjut dengan kerido'an Allah swt juga. Dan sangat pantaslah ganjaran
syurga bagi istri yang ta'at ini sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah saw:

"Tiap istri yang mati dan diridhoi suaminya akan masuk syurga" (HR At-Tirmidzi dari Ummi Salamah ra. Memang tidak mudah untuk menjadi seorang tauladan dan membimbing
keluarganya ke jalan yang Islami, apalagi di jaman sekarang ini dimana kehidupan
duniawi telah mengglobal dan maksiat pun telah merajalela. Jadi dituntut suatu
ketekunan dan kesabaran yang ekstra untuk dapat mempertahankan keimanan dan ketaqwaan kita, apalagi keluarga yang kita pimpin. Jadi seyogyanyalah kita tekun dan sabar dalam melakukannya, karena rugilah kita kiranya setelah berdakwah tapi tidak sabar (QS 103:3), dan berusaha dan berda'wah itu tidaklah ada batasnya, apalagi dalam mencapai ridhonya Allah swt. Jika kita tekun (bersungguh-sungguh) insya Allah akan berhasil.

Wassalam
AZ

Again: Polygamy!

Jkt-Post (April 23, 2000)

......
The argument that defends the practice of polygamy, however, is
age-old and almost unchallenged: it is allowed by Islam, the
religion practiced by 90 percent of the nation. The practice, to a
certain degree, is not prohibited by the government.

But how can a religion that boasts of freeing the oppressed from
their societal shackles endorse this sort of injustice?

It doesn't, some Muslims now argue. They say identifying polygamy
with Islam is a misperception.

Musdah Mulia, a chief expert researcher at the Ministry of
Religious Affairs, says Islamic teachings are monogamous in
nature.

"It has been widely misperceived that Islam teaches polygamy, when
in fact polygamy is something that had been widely practiced in
Arabic society for thousands of years before Islam came along,"
Musdah says.

"What the Prophet Muhammad did at the time was restrict the number
of wives a man can have from unlimited to as many as four."

Musdah says there is only one verse on polygamy in the Koran, and
this verse during the Prophet Muhammad's life shocked Arab men,
many of whom had hundreds of wives at the time. So radical was the
change that some tribal leaders decided not to convert to Islam
because they just couldn't see being married to only four wives.

Legislator Aisyah Hamid Baidlowi says that before Islam, women had
the lowest status in middle-eastern society. They were saleable
commodities to please men's sexual urges and were part of an
inheritance. When a man died, his son could inherit his wife.

"Islam acknowledges that men have bigger sexual appetites than
women, and thus only restricts the number instead of prohibits
it," says Aisyah, who headed the Nahdlatul Ulama Muslimat, the
women's body of the country's largest Muslim organization, from
1995 until earlier this year.

Muslim scholar Komaruddin Hidayat says polygamy was allowed in the
context of helping widows and orphans of war casualties in the
days of the Prophet, a time which was rife with tribal and civil
wars.

"The interpretation of the verse has betrayed its spirit. The
spirit was about freeing people from oppression, but it became
something about domination over women," says Komaruddin, who
chairs the Paramadina Foundation.

The Koran cites that in a polygamous relationship, the man must
treat all of his wives fairly. Fairness here covers material
goods, love and sexual relations. But this, Aisyah says, is almost
impossible, for a normal human being anyway.

Nevertheless the men always claim that they treat their women
fairly, something Komaruddin deems improper: "The victim or the
women should be the one to say whether she is being treated
fairly."

"What it boils down to is that men who have more than one wife are
most certainly big liars who use the Koran's teachings to their
benefit," Aisyah says.

Such is why most polygamous marriages are either illegitimate or
unregistered. The Association of Indonesian Women for Justice (LBH
APIK) handles 400 cases of mistreatment of or discrimination
against women every year. About a fourth of these cases revolves
around extramarital relationships or polygamy, and in both cases,
one of the women involved is always deceived.

"Most men usually marry another woman without their wife's
consent," LBH APIK's coordinator for legal services Asni Friyanti
Damanik says.

According to the 1974 marriage law, a man must obtain the consent
of his first wife and the court before he marries another woman.
The law allows polygamy only under the conditions that the first
wife cannot perform her duties as a wife, is handicapped or is
terminally ill, or cannot bear a child.

Often the man obtains an identity card illegally by slightly
changing his full name and by stating he is single to make the
second wedding possible, Asni said.

Since permits from the legal wife and the court are hard to
obtain, many men resort to marriage that is legitimized only by a
Muslim cleric with the presence of two witnesses and is not
recognized by the state.

Government regulation No. 10, 1983 also requires civil servants
and government officials to have the consent from the wife and his
superior before practicing polygamy. Failure to do so results in
the loss of the job. Both laws, however, fail to deter men from
practicing polygamy.

"I don't deny that polygamy exists in Islam, but it has been
misunderstood. There needs to be reinterpretation on this issue,"
Musdah said.

One theory is that the Prophet's practice of polygamy was part of
missionary work.

Musdah said the Prophet was married to his first wife Khadijah,
who was 15 years older than he, for 28 years. After her death, and
in the last five years of his life during which he was building a
Muslim society in Medinah and surrounding areas, he wedded 11
women, most of whom were older and widows of war casualties.

"The Prophet needed solidarity support from the tribal groups and
an effective way to do this is through marriage," she said.

"This wasn't a normal time, it was the time of religious
proselytization."

Sunday, June 10, 2007

Salam dari Brazil, 17 Januari 2000

Salam alaikum,

OK, ini janji saya untuk cerita ke Aryo dkk.

Saya saat ini bekerja di Embraer, satu group dengan Jerry, bule yang dulu
juga bertahun-tahun bekerja dengan saya di IPTN. Orang-orang lokalnya antara
lain Emerson (boss), Madeira, Paulo Marco dan Daniel. Mereka baik-baik dan
bekerja relatif lebih baik daripada kawan2 di IPTN. Meskipun sama-sama
senang ngobrol dan mengenal jam karet juga, mereka cenderung mengerti apa
yang sedang dan harus dikerjakan. Saya senang dengan suasana seperti ini,
bisa menumbuhkan competitiveness (kemampuan bersaing) yang baik. Pakaian
kerja nggak jauh beda dengan IPTN. Saya nggak perlu pakai jas atau dasi,
biasanya bos2 saja yang pakai dasi dan jas. Orang boleh pakai apa saja
kecuali celana pendek. Di sini juga seperti di IPTN, bagian produksi harus
pakai seragam. Lucunya suasananya juga mirip. Setelah makan mereka duduk
ngobrol berkerumun atau pergi ke semacam pusat sosial untuk menyewa video
atau nonton TV. Buku2 dan majalah2 juga dijual termasuk majalah 'playboy'.
Wah saya bayangkan kalau di IPTN majalah beginian dijual pasti ludes sama
bungkus2nya.

Orang-orang Brazil ini antara orang kita dan Eropa. Mereka akrab satu sama
lain, senang ngobrol, atau ngumpul-ngumpul atau datang telat ke kantor; di
samping serupa dalam menu makanan dan cara masak mereka. Mereka juga ada
sungkan-sungkan dan basa-basi sebagaimana halnya kita. Tapi mereka juga
seperti bule dalam hal kumpul kebo atau hamil sebelum nikah, cara makan
dengan garpu dan písau, cara berjalan yang cepat dan cenderung nggak mau
ngendus2 urusan orang lain. Bagusnya di jalan raya, meski ngebutnya minta
ampun, mereka cenderung tertib. Nggak ada yang namanya bus salip-salipan,
nggak ada suara klakson, dan public transport mereka cenderung bersih dan
cukup banyak, meskipun belum seperti di Inggris yang terjadwal. Di sini
'angkot` (alternativo) dan bus nggak punya jadwal. Muncul kapan saja tapi
cukup sering. Orang cukup melihat routenya.

São Jose kotanya indah, lebih dingin dari Lembang. Mungkin seperti
Pangalengan tapi dengan fasilitas seperti Bandung atau Jakarta. Tata kotanya
relatif baik tapi tidak seperti di Inggris bentuk2 rumahnya nggak begitu
standar, kayak di kita. Tapi jalan-jalannya bagus dan bersih dan naik-turun
karena kota ini terletak di lembah. Karena itu kata Vale banyak ditemukan,
artinya lembah, seperti Center Vale Shopping, shopping centre. Seperti saya
bilang di siang hari udaranya kering, jadi bagus buat Ali. Praktis nggak ada
debu, jadi gampang untuk bersih-bersih rumah, kayak di Inggris. Makanan
relatif murah. Orange juice, buah-buahan, sayur2ar, hampir semuanya relatif
murah. Yang lucu, kawan saya sampai teriak, buah konyal yang murahan di
kita, di sini R$22/kilo alias sekitar US$12/kilo. Anggur juga murah apalagi
semangka. Durian saya
belum nemu tapi kalau nangka, dari perbincangan dengan mereka, kayaknya ada
juga. Juga jambu batu merah dan putih, markisa, pepaya, dll. Pendeknya
komplit lah.

Memang sekolah untuk anak-anak relatif mahal. Sekolah yang saya ceritakan
adalah sekolah swasta. Direkomendasikan oleh TAP Engineering, perusahaan
yang mempekerjakan saya sekarang. Namun memang kualitasnya cukup baik. Mirip
dengan sekolah-sekolah unggulan di kita. Alhamdulillah anak2 ikut enjoy juga
di sini. Sekarang mereka memahami Portugis much better than me, biasalah
anak2: learning by doing. Sekarang mereka punya banyak kawan di sekolah,
malah beberapa kali saya mengantar mereka ke acara pesta ultah kawan2nya.

OK sekian dulu lah. Tchau.


Wassalam
Abdi

Saturday, June 09, 2007

The Prophet's (s) Sermon Of Ramadhan

The Sermon Given By The Prophet (s) On The Last Friday Of Sha'ban On The Reception Of The Month of Ramadhan

"O People !

"Indeed ahead of you is the blessed month of Allah. A month of blessing,
mercy and forgiveness. A month which with Allah is the best of months. Its
days, the best of days, its nights, the best of nights, and its hours, the
best of hours. It is the month which invites you to be the guests of Allah
and invites you to be one of those near to Him. Each breath you take
glorifies him; your sleep is worship, your deeds are accepted and your
supplications are answered. So, ask Allah, your Lord; to give you a sound
body and an enlightened heart so you may be able to fast and recite his
book, for only he is unhappy who is devoid of Allah's forgiveness during
this great month. Remember the hunger and thirst of the day of Qiyamah
(Judgement) with your hunger and thirst; give alms to the needy and poor,
honor your old, show kindness to the young ones, maintain relations with
your blood relations; guard your tongues, close your eyes to that which is
not permissible for your sight, close your ears to that which is forbidden
to hear, show compassion to the orphans of people so compassion may be shown
to your orphans. Repent to Allah for your sins and raise your hands in dua
during these times, for they are the best of times and Allah looks towards
his creatures with kindness, replying to them during the hours and granting
their needs if he is asked...

"O People! Indeed your souls are dependant on your deeds, free it with
Istighfar (repentance) lighten its loads by long prostrations; and know
that Allah swears by his might: That there is no punishment for the one who
prays and prostrates and he shall have no fear of the fire on the day when
man stands before the Lord of the worlds.

"O People! One who gives Iftaar to a fasting person during this month will
be like one who has freed someone and his past sins will be forgiven.

Some of the people who were there then asked the Prophet (s): "Not all of us
are able to invite those who are fasting?"

The Prophet (s) replied: "Allah gives this reward even if the Iftaar (meal)
is a drink of water."

"One who has good morals (Akhlaq) during this month will be able to pass the
`Siraat'...on the day that feet will slip...

"One who covers the faults of others will benefit in that Allah will curb
His anger on the day of Judgement...

"As for one who honors an orphan; Allah will honor him on the day of
judgement,

"And for the one who spreads his kindness, Allah will spread His mercy over
him on the day of Judgement.

"As for the one who cuts the ties of relation; Allah will cut His mercy
from him...

"Who so ever performs a recommended prayer in this month Allah will keep the
fire of Hell away from him...

"Whoever performs an obligator prayer Allah will reward him with seventy
prayers [worth] in this month.

"And who so ever prays a lot during this month will have his load lightened
on the day of measure.

"He who recites one verse of the holy Quran will be given the rewards of
reciting the hole Qur'an during other months.

"O People! Indeed during this month the doors of heaven are open, therefore
ask Allah not to close them for you; The doors of hell are closed, so ask
Allah to keep them closed for you. During this month Shaytan (Saten) is
imprisoned so ask your Lord not to let him have power over you."

Khutbah Rasulullah Menyambut Bulan Ramadhan

Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan
membawa berkah, rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia disisi
Allah. Hari-harinya adalah hari-hari paling utama. Malam-malamnya
adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam
paling utama. Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah
dan dimuliakan-Nya.

Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu adalah ibadah,
amal-amalmu diterima, dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada
Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah
membimbingmu untuk melakukan syiyam dan membaca kitab-Nya.

Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang
agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu, kelaparan dan
kehausan di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fukara dan
masakin. Muliakanlah orang-orang tuamu, sayangilah yang muda,
sambunglah tali persudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari
apa yang tidak halal kamu memandangnya, dan pendengaranmu dari apa
yang tidak halal kamu mendengarkannya.

Kasihanilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak
yatimmu. Bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-
tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat
yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-
hambanya dengan penuh kasih; DIA menjawab mereka ketika mereka
menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya, dan
mengabulkan mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya. "Wahai manusia!
Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka
bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban
dosamu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu."

Ketahuilah! Allah Ta'ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa
DIA tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak
akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri
dihadapan
Rabb Al-'Alamin.

Wahai manusia! Barangsiapa diantaramu memberi buka kepada orang-
orang Mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka disisi Allah nilainya
sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampunan atas
dosa-dosanya yang lalu.

Sahabat-sahabat bertanya:
"Ya Rasulullah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian."
Rasulullah meneruskan: Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya
dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya
dengan seteguk air.

Wahai manusia! Siapa yang membaguskan ahlaknya di bulan ini ia akan
berhasil melewati sirath pada hari ketika kaki-kaki tergelincir.
Barang siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki
tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan
meringankan pemeriksaan-Nya di hari Kiamat. Barang siapa menahan
kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia
berjumpa dengan-Nya.

Barangsiapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan
memuliakannya pada hari ia berjumpa dengan-nya. Barangsiapa
menyambungkan tali persudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah
akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa
dengan-Nya. Barangsiapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah
akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.
Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan
menuliskan baginya kebebasan dari api neraka.

Barangsiapa melakukan shalat fardhu baginya adalah ganjaran seperti
melakukan 70 shalat fardhu dibulan yang lain. Barang siapa
memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan
timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa pada
bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti
mengkhatam Al-Qur'an pada bulan-bulan yang lain.

Wahai manusia! sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka
mintalah kepada Tuhanmu agar tidak akan pernah menutupkannya bagimu.
Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak
akan pernah dibukakan bagimu.Setan-setan terbelenggu, maka mintalah
agar ia tak lagi pernah menguasaimu.

Amirul Mukminin berkata: Aku berdiri dan berkata, "Ya Rasulullah!
Apa amal yang paling utama dibulan ini?"
Jawab Nabi: Ya abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini
adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah".

HRH, The Prince of Wales: Islam And The West (partially)

May 2, 2000
>
> ..............
> of Islamic society and culture in Spain between the 8th and 15th
> centuries. The contribution of Muslim Spain to the preservation
> of classical learning during the Dark Ages, and to the first
> flowering of the Renaissance, has long been recognized. But
> Islamic Spain was much more than a mere larder where Hellenistic
> knowledge was kept for later consumption by the emerging modern
> world. Not only did Muslim Spain gather and preserve the
> intellectual content of ancient Greek and Roman civilization, it
> also interpreted and expanded upon that civilization, and made a
> vital contribution of its own in so many fields of human
> endeavour -- in science, astronomy, mathematics, algebra (itself
> an Arabic word), law, history, medicine, pharmacology, optics,
> agriculture, architecture, theology, music. Averroes and
> Avenzoor, like their counterparts Avicenna and Rhazes in the
> East, contributed to the study and practice of medicine in ways
> from which Europe benefited for centuries afterwards.
>
> Islam nurtured and preserved the quest for learning. In the words
> of (the Prophet's) tradition "the ink of the scholar is more
> sacred than the blood of the martyr." Cordoba in the 10th century
> was by far the most civilized city of Europe. We know of lending
> libraries in Spain at the time King Alfred was making terrible
> blunders with the culinary arts in this country. It is said that
> the 400,000 volumes of its ruler's library amounted to more books
> than all the of the rest of Europe put together. That was made
> possible because the Muslim world acquired from China the skill
> of making paper more than four hundred years before the rest of
> non-Muslim Europe. Many of the traits on which Europe prides
> itself came to it from Muslim Spain. Diplomacy, free trade, open
> borders, the techniques of academic research, of anthropology,
> etiquette, fashion, alternative medicine, hospitals, all came
> from this great city of cities. Mediaeval Islam was a religion of
> remarkable tolerance for its time, allowing Jews and Christians
> to practice their inherited beliefs, and setting an example which
> was not, unfortunately, copied for many centuries in the West.
> The surprise, ladies and gentlemen, is the extent to which Islam
> has been a part of Europe for so long, first in Spain, then in
> the Balkans, and the extent to which it has contributed so much
> towards the civilization which we all too often think of,
> wrongly, as entirely Western. Islam is part of our past and
> present, in all fields of human endeavour. It has helped to
> create modern Europe. It is part of our own inheritance, not a
> thing apart.
>